A.
ZAKAT DAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM
Berdasarkan sejumlah hadits dan laporan
para shahabat, diketahui bahwa urutan rukun Islam setelah shalat lima waktu (setelah Isra dan Mi'raj)
adalah puasa (diwajibkan pada tahun 2 H) yang bersamaan dengan zakat fitrah. Baru kemudian perintah diwajibkannya zakat
kekayaan. Namun demikian Yusuf Al-Qaradhawy menegaskan bahwa zakat adalah rukun
Islam ketiga berdasarkan banyak hadits shahih, misalnya hadits peristiwa Jibril
ketika mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah : "Apakah itu Islam ?"
Nabi menjawab :"Islam adalah mengikrarkan bahwa tidak ada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah RasulNya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa
pada bulan Ramadhan, dan naik haji bagi yang mampu melaksanakannya"
(Bukhari Muslim)
Urutan ini tidak terlepas dari pentingnya
kewajiban zakat (setelah shalat), dipuji orang yang melaksanakannya dan diancam orang yang meninggalkannya
dengan berbagai upaya dan cara. Peringatan
keras terhadap orang yang tidak membayar zakat tidak hanya berupa hukuman yang
sangat pedih di akhirat (misalnya QS
9:34-35; 3:180, dan hadits shahih) juga terdapat hukuman di dunia. Hadits
shahih
menjelaskan bahwa :
• Orang yang tidak mengeluarkan zakat
akan ditimpa kelaparan dan kemarau panjang
• Bila zakat bercampur dengan kekayaan
lain, maka kekayaan itu akan binasa
• Pembangkang zakat dapat dihukum dengan
denda bahkan dapat diperangi dan dibunuh. Hal ini dilakukan oleh Abu Bakar ketika setelah Rasulullah
wafat dimana banyak suku Arab yang membangkang tidak mau membayar zakat dan hanya mau mengerjakan
sholat.
Pernyataan Abu Bakar : "Demi
Allah, saya akan memerangi siapapun yang membeda-bedakan zakat dari
shalat,...."
Berdasarkan pembahasan diatas dapat
dimengerti bahwa zakat adalah asasi sekali dalam Islam, dan dapat dikatakan bahwa orang yang mengingkari
zakat itu wajib adalah kafir dan sudah keluar dari Islam (murtad).
Adapun beberapa perbedaan mendasar antara
zakat dalam Islam dengan zakat dalam agama-agama lain menurut pengamatan Yusuf Al-Qaradhawy sbb
:
1. Zakat dalam Islam bukan sekedar suatu kebajikan yang
tidak mengikat, tapi merupakan salah satu fondamen
Islam yang utama dan mutlak harus
dilaksanakan.
2. Zakat dalam Islam adalah hak fakir miskin yang tersimpan dalam
kekayaan orang kaya. Hak itu ditetapkan
oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya, yaitu Allah SWT.
3. Zakat merupakan "kewajiban yang sudah ditentukan" yang
oleh agama sudah ditetapkan nisab, besar, batas-batas,
syarat-syarat waktu dan cara pembayarannya.
4. Kewajiban ini tidak diserahkan saja
kepada kesediaan manusia, tetapi harus dipikul tanggungjawab memungutnya dan mendistribusikannya oleh
pemerintah.
5. Negara berwenang menghukum siapa saja
yang tidak membayar kewajibannya, baik berupa denda, dan dapat dinyatakan perang atau dibunuh.
6. Bila negara lalai menjalankan atau
masyarakat segan melakukannya, maka bagaimanapun zakat bagi seorang Muslim adalah ibadat untuk mendekatkan
diri kepada Allah serta membersihkan diri dan kekayaannya.
7. Penggunaan zakat tidak diserahkan
kepada penguasa atau pemuka agama (seperti dalam agama Yahudi), tetapi harus dikeluarkan sesuai dengan
sasaran-sasaran yang telah ditetapkan Al Quran. Pengalaman menunjukan
bahwa yang terpenting bukanlah
memungutnya tetapi adalah masalah pendistribusiannya.
8. Zakat bukan sekedar bantuan
sewaktu-waktu kepada orang miskin untuk meringankan penderitaannya, tapi bertujuan untuk menaggulangi kemiskinan,
agar orang miskin menjadi berkecukupan selama-lamanya, mencari pangkal penyebab kemiskinan itu
dan mengusahakan agar orang miskin itu mampu memperbaiki sendiri kehidupan mereka.
9. Berdasarkan sasaran-sasaran
pengeluaran yang ditegaskan Quran dan Sunnah, zakat juga mencakup tujuan spiritual, moral. sosial dan politik,
dimana zakat dikeluarkan buat orang-orang mualaf, budak-budak, orang yang berhutang, dan buat perjuangan, dan
dengan demikian lebih luas dan lebih jauh jangkauannya dari pada zakat
dalam agama-agama lain.
Tujuan zakat dan dampaknya bagi pribadi
dapat dipisahkan antara pribadi si pemberi dan si penerima.
Zakat bukan bertujuan sekedar untuk
memenuhi baitul maal dan menolong orang yang lemah dari kejatuhan yang semakin parah. Tapi tujuan utamanya
adalah agar manusia lebih tinggi nilainya daripada harta, sehingga manusi menjadi tuannya harta bukan
menjadikan budaknya. Dengan demikian kepentingan tujuan zakat terhadap si pemberi sama dengan kepentingannya
terhadap si penerima.
Beberapa tujuan dan dampak zakat bagi si pemberi
adalah:
1. Zakat mensucikan jiwa dari sifat
kikir.
2. Zakat mendidik berinfak dan memberi.
3. Berakhlaq dengan Akhlaq Allah
4. Zakat merupakan manifestasi syukur
atas Nikmat Allah.
5. Zakat mengobati hati dari cinta dunia.
6. Zakat mengembangkan kekayaan bathin
7. Zakat menarik rasa simpati/cinta
8. Zakat mensucikan harta dari
bercampurnya dengan hak orang lain (Tapi zakat tidak bisa mensucikan harta yang diperoleh dengan jalan haram).
9. Zakat mengembangkan dan memberkahkan
harta.
Adapun tujuan dan dampak zakat bagi si
penerima:
1. Zakat akan membebaskan si penerima
dari kebutuhan, sehingga dapat merasa
2. Zakat menghilangkan sifat dengki dan
benci.
B. KEKAYAAN
YANG WAJIB ZAKAT
1.
Pengertian Kekayaan
Quran tidak memberikan ketegasan tentang
jenis kekayaan yang wajib zakat, dan syarat-syarat apa yang mesti dipenuhi, dan berapa besar yang harus
dizakatkan. Persoalan tsb diserahkan kepada Sunnah Nabi. Memang terdapat beberapa jenis kekayaan
yang disebutkan Quran seperti: emas dan perak (9:34); tanaman dan buah-buahan (6:141); penghasilan dari
usaha yang baik (2:267); dan barang tambang (2:267). Namun demikian, lebih daripada itu Quran hanya
merumuskannya dengan rumusan yanga umum yaitu "kekayaan" ("Pungutlah olehmu zakat dari kekayaan mereka,....."
QS 9:103). Kekayaan hanya bisa
disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat yaitu : dipunyai dan bisa diambil manfaatnya. Inilah definisi yang paling
benar menurut Yusuf Al-Qaradhawy dari beragam definisi yang dijumpai.
Terdapat 6 syarat untuk suatu kekayaan
terkena wajib zakat:
1. Milik penuh
2. Berkembang
3. Cukup senisab
4. Lebih dari kebutuhan biasa
5. Bebas dari hutang
6. Berlalu setahun
Syarat Pertama : Milik Penuh
Kekayaan pada dasarnya adalah milik
Allah. Yang dimaksud pemilikan disini hanyalah penyimpanan, pemakaian, dan pemberian wewenang yang
diberikan Allah kepada manusia, sehingga sesorang lebih berhak menggunakan dan mengambil manfaatnya
daripada orang lain. Istilah
"milik penuh" maksudnya adalah bahwa kekayaan itu harus berada di
bawah kontrol dan di dalam kekuasaannya.
Dengan kata lain, kekayaan itu harus berada di tangannya, tidak tersangkut di
dalamnya hak orang lain,
dapat ia pergunakan dan faedahnya dapat dinikmatinya.
Konsekwensi dari syarat ini tidak wajib
zakat bagi :
• Kekayaan yang tidak mempunyai pemilik
tertentu
• Tanah waqaf dan sejenisnya
• Harta haram. Karena sesungguhnya harta
tersebut tidak syah menjadi milik seseorang
• Harta pinjaman. Dalam hal ini wajib
zakat lebih dekat kepada sang pemberi hutang (kecuali bila hutang tsb tidak diharapkan kembali). Bagi orang
yang meminjam dapat dikenakan kewajiban zakat apabila dia tidak mau atau mengundur-undurkan pembayaran
dari harta tsb, sementara dia terus mengambil manfaat dari harta tsb. Dengan kata lain orang yang meminjam
telah memperlakukan dirinya sebagai "si pemilik penuh".
• Simpanan pegawai yang dipegang
pemerintah (seperti dana pensiun). Harta ini baru akan menjadi milik penuh di masa yad, sehingga baru terhitung
wajib zakat pada saat itu.
Syarat Kedua : Berkembang
Pengertian berkembang yaitu harta tsb
senantiasa bertambah baik secara konkrit (ternak dll) dan tidak secara konkrit (yang berpotensi berkembang,
seperti uang apabila diinvestasikan). Nabi
tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi
seperti rumah kediaman, perkakas
kerja, perabot rumah tangga, binatang penarik, dll. Karena semuanya tidak
termasuk kekayaan yang berkembang
atau mempunyai potensi untuk berkembang. Dengan alasan ini pula disepakati
bahwa hasil pertanian dan
buah-buahan tidak dikeluarkan zakatnya berkali-kali walaupun telah disimpan
bertahun-tahun.
Dengan syarat ini pula, maka jenis harta
yang wajib zakat tidak terbatas pada apa yang sering diungkapkan sebahagian ulama yaitu hanya 8 jenis
harta (unta, lembu, kambing, gandum, biji gandum, kurma, emas, dan perak). Semua kekayaan yang berkembang merupakan
subjek zakat.
Syarat Ketiga: Cukup Senisab
Disyaratkannya nisab memungkinkan orang
yang mengeluarkan zakat sudah terlebih dahulu berada dalam kondisi berkecukupan. Tidaklah mungkin syariat
membebani zakat pada orang yang mempunyai sedikit harta dimana dia sendiri masih sangat membutuhkan harta
tsb. Dengan demikian pendapat yang mengatakan hasil pertanian tidak ada nisabnya menjadi tertolak. (Besarnya
nisab untuk masing-masing jenis kekayaan dijelaskan pada bab lain).
Syarat Keempat: Lebih dari Kebutuhan
Biasa
Kebutuhan adalah merupakan persoalan pribadi
yang tidak bisa dijadikan patokan besar-kecilnya. Adapun sesuatu kelebihan dari kebutuhan itu
adalah bagian harta yang bisa ditawarkan atau diinvestasikan yang dengan itulah pertumbuhan/ perkembangan harta dapat
terjadi. Kebutuhan harus dibedakan dengan
keinginan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan rutin, yaitu sesuatu yang
betul-betul diperlukan untuk kelestarian hidup; seperti halnya belanja
sehari-hari, rumah kediaman, pakaian, dan senjata untuk mempertahankan diri,
peralatan kerja, perabotan rumah tangga, hewan tunggangan, dan buku-buku ilmu
pengetahuan untuk kepentingan keluarga (karena kebodohan dapat berarti
kehancuran). Kebutuhan ini berbeda-beda dengan
berubahnya zaman, situasi dan kondisi, juga besarnya tanggungan dalam keluarga yang berbeda-beda.
Persoalan ini sebaiknya diserahkan kepada penilaian para ahli dan ketetapan yang berwewenang. Zakat dikenakan bila harta telah lebih
dari kebutuhan rutin. Sesuai dengan ayat 2:219 ("sesuatu yang lebih dari
kebutuhan...") dan juga hadits "zakat hanya dibebankan ke atas pundak
orang kaya", dan hadits-hadits lainnya.
Syarat ke lima: Bebas dari Hutang
Pemilikan sempurna yang dijadikan
persyaratan wajib zakat haruslah lebih dari kebutuhan primer, dan cukup pula senisab yang sudah bebas dari
hutang. Bila jumlah hutang akan mengurangi harta menjadi kurang senisab, maka zakat tidaklah wajib.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hutang
merupakan penghalang wajib zakat. Namun apabila hutang itu ditangguhkan pembayarannya (tidak harus
sekarang juga dibayarkan), maka tidaklah lepas wajib zakat (seperti halnya hutang karena meng-kredit
sesuatu).
Syarat ke enam: Berlalu Setahun
Maksudnya bahwa pemilikan yang berada di
tangan si pemilik sudah berlalu masanya dua belas bulan Qomariyah. Menurut Yusuf Al-Qaradhawy,
persyaratan setahun ini hanyalah buat
barang yang dapat dimasukkan ke
dalam istilah "zakat modal" seperti: ternak, uang, harta benda
dagang, dll. Adapun hasil pertanian, buah-buahan, madu,
logam mulia (barang tambang), harta karun, dll yang sejenis semuanya termasuk
ke dalam istilah "zakat pendapatan"
dan tidak dipersyaratkan satu tahun (maksudnya harus dikeluarkan ketika
diperoleh).
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan
para shahabat dan tabi'in mengenai persyaratan "berlalu setahun" ini. Dimana apa pendapat yang mengatakan
bahwa zakat wajib dikeluarkan begitu diperoleh bila sampai senisab, baik karena sendiri maupun karena
tambahan dari yang sudah ada, tanpa mempersyaratkan satu tahun. Perbedaan ini dikarenakan "tidak adanya satu
hadits yang tegas" mengenai persyaratan ini. (Pembahasan lebih jauh
mengenai hal ini Insya Allah akain
kita jumpai pada pembahasan zakat profesi/ pendapatan).
Namun demikian sesuatu yang tidak
diperselisihkan sejak dulu adalah bahwa zakat kekayaan yang termasuk zakat modal di atas hanya diwajibkan satu kali dalam setahun.
1. Zakat binatang ternak
2. Zakat emas dan perak / zakat uang
3. Zakat kekayaan dagang
4. Zakat pertanian
5. Zakat madu dan produksi hewani
6. Zakat barang tambang dan hasil laut
7. Zakat investasi pabrik, gedung, dll
8. Zakat pencarian dan profesi
9. Zakat saham dan obligasi
C.
SASARAN ZAKAT
Walaupun tidak begitu penting untuk
diketahui oleh umumnya kita semua, apa sja sasaran-sasaran zakat menurut Qur'an, tapi saya akan mensarikan
secara singkat untuk memperjelas hal-hal yang mungkin masih rancu di kalagan ummat Islam. Khususnya bagi
Ikhwan yang terlibat atau akan melibatkan diri dalam masalah zakat ini pada unit-unit zakat di lingkungan kerja,
tempat tinggal atau keluarga masing-masing, maka topik ini menjadi penting.
Dapat dikatakan bahwa upaya
mendistribusikan zakat adalah jauh lebih sulit dan kompliketed dari pada
sekedar mengumpulkan. Sebagaimana yang
diterangkan dalam QS 9:60, sassaran zakat ada 8 golongan : fakir, miskin, amil
zakat, golongan muallaf, memerdekakan budak
belian, orang yang berutang, di jalan Allah, dan ibnu sabil. Sasaran zakat ini sangat penting dalam
pandangan Islam, sehingga terdapat hadits yang menjelaskan bahwa untuk
menentukan sasaran zakat ini seakan-akan Allah tidak rela bila Rasulullah SAW
menetapkannya sendiri, sehingga Allah SWT menurunkan ayat 9:60 tsb.
1.
FAKIR DAN MISKIN
Siapakah yang disebut fakir dan miskin ?
Terdapat beragam definisi mengenai kata
fakir dan miskin, tapi secara umum fakir dan miskin itu adalah mereka yang kebutuhan pokoknya tidak
tercukupi sedangkan mereka secara fisik tidak mampu bekerja atau tidak mampu memperoleh pekerjaan.
Golongan ini dapat dikatakan sebagai inti
sasaran zakat (Hadits: ... zakat yang diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang miskin).
Selanjutnya kita dianjurkan pula untuk
lebih memperhatikan orang-orang miskin yang menjaga diri dan memelihara kehormatan. Sesuai hadits: "Orang miskin itu bukanlah mereka
yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua suap nasi, satu dua biji kurma, tapi orang miskin itu ialah
mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah, dan merekapun tidak pergi meminta-minta
pada orang" (Bukhari Muslim)
Fakir miskin hendaklah diberikan harta
zakat yang mencukupi kebutuhannya sampai dia bisa menghilangkan kefakirannya. Bagi yang mampu bekerja
hendaknya diberikan peralatan dan lapangan pekerjaan. Sedangkan bagi yang tidak mampu lagi bekerja (orang
jompo, cacat fisik), hendaknya disantuni seumur hidupnya dari harta zakat. Maka jelaslah bahwa tujuan zakat bukanlah
memberi orang miskin satu atau dua dirham, tapi maksudnya ialah memberikan tingkat hidup yang layak.
Layak sebagai manusia yang didudukan Allah sebagai khalifah di bumi, dan layak sebagai Muslim yang telah masuk ke
dalam agama keadilan dan kebaikan, yang telah masuk ke dalam ummat pilihan dari kalangan manusia.
Tingkat hidup minimal bagi seseorang
ialah dapat memenuhi makan dan minum yang layak untuk diri dan keluarganya, demikian pula pakaian untuk
musim dingin dan musim panas, juga mencakup tempat tinggal dan keperluan-keperluan pokok lainnya baik
untuk diri dan tanggungannya.
Wah, tentunya banyak sekali harta zakat
yang harus dikumpulkan, sementara ini ummat Islam, ambil contoh di Indonesia, masih sangat minim dalam
menunaikan kewajiban ini.
2.
AMIL ZAKAT
Amil merupakan sasaran berikutnya setelah
fakir miskin (9:60). Amil adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat,
dimana Allah menyediakan upah bagi mereka dari harta zakat sebagai imbalan. Dimasukkannya amil sebagai asnaf
menunjukkan bahwa zakat dalam islam
bukanlah suatu tugas yang hanya diberikan kepada seseorang (individual), tapi
merupakan tugas jamaah (bahkan menjadi tugas negara).
Zakat punya anggaran khusus yang
dikeluarkan daripadanya untuk gaji para pelaksananya. Syarat Amil (siapa tahu ada Isneter yang
tertarik menjadi Amil Professional) :
1. Seorang Muslim
2. Seorang Mukallaf (dewasa dan sehat
pikiran)
3. Jujur
4. Memahami Hukum Zakat
5. Berkemampuan untuk melaksanakan tugas
6. Bukan keluarga Nabi (sekarang sudah
nggak ada nih)
7. Laki-laki
8. Sebagian ulama mensyaratkan amil itu
orang merdeka (bukan hamba)
Tugas Amil :
Semua hal yang berhubungan dengan
pengaturan zakat. Amil mengadakan sensus berkaitan dengan:
1. orang yang wajib zakat,
2. macam-macam zakat yang diwajibkan
3. besar harta yang wajib dizakat
4. Mengetahui para mustahik :
- Jumlahnya
- jumlah kebutuhan mereka dan jumlah
biaya yang cukup untuk mereka.
Berapa besar bagian buat amil ini :
Amil tetap diberi zakat walau ia kaya,
karena yang diberikan kepadanya adalah imbalan kerjanya bukan berupa pertolongan bagi yang membutuhkan.
Amil itu adalah pegawai, maka hendaklah diberi upah sesuai dengan pekerjaannya, tidak terlalu kecil dan
tidak juga berlebihan. Pendapat yang terkuat yang diambil Yusuf Qardawy adalah pendapat Imam Syafi'i, yaitu
maksimal sebesar 1/8 bagian. Kalau upah itu lebih besar dari bagian tersebut, haruslah diambilkan dari harta diluar
zakat, misalnya oleh pemerintah dibayarkan dari sumber pendapatan pemerintah
lainnya.
3.
GHARIMIN
Gharimin dapat terbagi dua :
A. Orang yang berhutang untuk
kemaslahatan sendiri (seperti untuk nafkah keluarga, sakit, mendirikan rumah dlsb). Termasuk didalamnya orang yang
terkena bencana sehingga hartanya musnah.
Beberapa syarat gharimin ini :
1. Hendaknya ia mempunyai kebutuhan untuk
memiliki harta yang dapat membayar utangnya.
2. Orang tsb berhutang dalam melaksanakan
ketaatan atau mengerjakan sesuatu yang diperbolehkan syariat.
3. Hutangnya harus dibayar pada waktu itu.
Apabila hutangnya diberi tenggang waktu dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
apakah orang yang berhutang ini dapat dikategorikan sebagai mustahik.
4. Kondisi hutang tsb berakibat sebagai
beban yang sangat berat untuk dipikul.
Berapa besar orang yang berhutang harus
diberikan ?
Orang yang berhutang karena kemaslahatan
dirinya harus diberi sesuai dengan
kebutuhannya. Yaitu untuk membayar
lunas hutangnya. Apabila ternyata ia dibebaskan oleh yang memberi hutang, maka
dia harus mengembalikan bagiannya
itu. Karena ia sudah tidak memerlukan lagi (untuk membayar hutang).
Sesungguhnya Islam dengan menutup utang
orang yang berhutang berarti telah menempatkan dua tujuan utama :
1. Mengurangi beban orang yang berutang
dimana ia selalu menghadapi kebingungan di waktu malam dan kehinaan di waktu siang.
2. Memerangi riba.
B. Orang yang
berhutang untuk kemaslahatan orang lain.
Umumnya hal ini dikaitkan dengan usaha
untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa, namun tidak ada dalil syara' yang mengkhususkan gharimin
hanya pada usaha mendamaikan tsb. Oleh karenanya orang yang berhutang karena melayani kepentingan masyarakat
hendaknya diberi bagian zakat untuk menutupi hutangnya,
walaupun ia orang kaya.
Jadi bagi kita yang mengambil kredit TV
misalnya, tentunya tidak termasuk kaum gharimin yang menjadi sasaran zakat. Karena kita bukannya
sengsara karena hutang, tapi justru menikmatinya.
4.
FISABILILLAH
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan
ulama mengenai definisi "Fisabilillah" yang menjadi sasaran zakat dalam ayat 9:60. Apakah harus digunakan
definisi dalam arti sempit yaitu "jihad", atau definisi dalam arti
luas yaitu
"segala bentuk kebaikan dijalan
Allah". Kesepakatan Madzhab
Empat tentang Sasaran Fisabilillah.
1. Jihad secara pasti termasuk dalam
ruang lingkup Fisabilillah.
2. Disyariatkan menyerahkan zakat kepada
pribadi Mujahid, berbeda dengan menyerahkan zakat untuk keperluan jihad dan persiapannya. Dalam hal ini
terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka.
3. Tidak diperbolehkan menyerahkan zakat
demi kepentingan kebaikan dan kemaslahatan bersama, seperti mendirikan dam, jembatan, masjid dan
sekolah, memperbaiki jalan, mengurus mayat dll. Biaya untuk urusan ini diserahkan pada kas baitul maal dari
hasil pendapatan lain seperti harta fai, pajak, upeti, dlsb.
Namun beberapa ulama lain telah meluaskan
arti sabilillah ini seperti : Imam Qaffal, Mazhab Ja'fari, Mazhab Zaidi, Shadiq Hassan Khan, Ar Razi,
Rasyid Ridha dan Syaltut, dll.
Setelah mengkaji perbedaan-perbedaan
pendapat ini, dan juga merujuk pengertian kata fisabilillah yang tertera dalam ayat-ayat Al Qur'an, maka sampailah
Yusuf Qardhawi pada kesimpulan sbb :
Pendapat yang dianggap kuat adalah, bahwa
makna umum dari sabilillah itu tidak
layak dimaksud dalam ayat ini, karena dengan
keumumannya ini meluas pada aspek-aspek yang banyak sekali, tidak terbatas
sasarannya dan apalagi terhadap
orang-orangnya. Makna umum ini meniadakan pengkhususan sasaran zakat delapan,
dan sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi :
"Sesungguhnya Allah tidak meridhoi hukum Nabi dan hukum lain dalam masalah sedekah, sehingga Ia menetapkan
hukumnya dan membaginya pada delapan bagian".
Seperti halnya sabilillah dengan arti
yang umum itu akan meliputi pemberian pada orang-orang fakir, miskin dan asnaf-asnaf lain, karena itu semua
termasuk kebajikan dan ketaatan kepada Allah. Kalau demikian apa sesungguhnya perbedaan antara sasaran ini
dengan sasaran sesudah dan yang sebelumnya ? Sesungguhnya Kalamullah yang sempurna dan mu'jiz pasti
terhindar dari pengulangan yang tidak ada faedahnya. karenanya pasti yang dimaksud disini adalah makna yang khusus,
yang membedakannya dari sasaran-sasaran lain.
Makna yang khusus ini tiada lain adalah jihad, yaitu jihad untuk membela dan
menegakkan kalimat Islam dimuka
bumi ini. Setiap jihad yang dimaksudkan
untuk menegakkan kalimat allah termasuk sabilillah, bagaimanapun keadaan dan bentuk jihad
serta senjatanya.
Kemudian Yusuf Al-Qaradhawy memperluas
arti Jihad ini tidak hanya terbatas pada peperangan dan pertempuran dengan senjata saja, namun
termasuk juga segala bentuk peperangan yang menggunakan akal dan hati dalam membela dan mempertahankan aqidah
Islam. Contoh : "Mendirikan sekolah berdasarkan faktor tertentu adalah perbuatan shaleh dan kesungguhan
yang patut disyukuri, dan sangat dianjurkan oleh Islam, akan tetapi ia tidak dimasukkan dalam ruang lingkup JIHAD.
Namun demikian, apabila ada suatu negara dimana pendidikan merupakan masalah utama, dan yayasan pendidikan
telah dikuasai kaum kapitalis, komunis, atheis ataupun sekularis, maka jihad yang paling utama adalah mendirikan
madrasah yang berdasarkan ajaran Islam yang murni, mendidik anak-anak kaum Muslimin dan memeliharanya dari
pencangkokan kehancuran fikiran dan akhlaq, serta menjaganya dari racun-racun yang ditiupkan melalui
kurikulum dan buku-buku, pada otak-otak pengajar dan ruh masyarakat yang disahkan di sekolah-sekolah pendidikan
secara keseluruhan.
Sebaliknya tidak semua peperangan
termasuk kategori sabilillah, yaitu peperangan yang ditujukan untuk selain membela agama Allah, seperti halnya
perang yang sekedar membela kesukuan, kebangasaan, atau membela kedudukan.
Kemana dipergunakan Bagian Sabilillah di
zaman sekarang ?
- Membebaskan Negara Islam dari hukum
orang kafir
- Bekerja mengembalikan Hukum Islam
termasuk Jihad Fisabi-lillah, diantaranya melalui pendirian pusat kegiatan Islam yang mendidik pemuda
Muslim, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara aqidah dari
kekufuran dan mempersiapkan diri untuk
membela Islam dari musuh-musuhnya. Mendirikan percetakan surat kabar untuk menandingi berita-berita yang
merusak an
menyesatkan ummat.
Demikian saja yang dapat dibahas dari 8
golongan sasaran zakat. Berikut ini adalah kesimpulan dari pembahasan mengenai persoalan distribusi
zakat yang diperoleh, apakah harus dibagi sama rata ke 8 golongan tsb, atau bisa ada kebijakan lain. Setelah
mendalami perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini, akhirnya Yusuf Al-Qaradhawy berkesimpulan
sbb:
1. Harta zakat yang terkumpul mestilah
dibagikan pada semua mustahik, apabila harta itu banyak dan semua sasaran ada, kebutuhannya sama atau
hampir sama. Tidak boleh ada satu sasaranpun yang boleh dihalangi untuk mendapatkan, apabila itu merupakan
haknya serta benar-benar dibutuhkan. Dan ini hanya berlaku bagi Imam atau Hakim agama yang mengumpulkan
zakat dan membagikannya pada mustahik.
2. Ketika diperkirakan ada dalam
kenyataannya semua (delapan) mustahik itu, maka tidak wajib mempersamakan antara semua sasaran dalam
pemberiannya. Itu semua hanya tergantung pada jumlah dan pada kebutuhannya. Sebab terkadang ada
pada suatu daerah seribu orang fakir, sementara dari orang yang berhutang atau ibnu sabil hanya sepuluh
orang. Maka bagaimana mungkin pembagian untuk sepuluh orang harus sama dengan orang yang seribu ?
Karenanya kita melihat, yang paling tepat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Malik dan yang sebelumnya,
yaitu Ibnu Syihab, yang mendahulukan sasaran yang paling banyak jumlahnya dan kebutuhannya dengan
bagian yang besar.
3. Diperbolehkan
memberikan semua zakat, tertuju pada sebagian sasaran tertentu saja, untuk
mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syara' - yang meminta pengkhususan
itu - sebagaimana halnya ketika ia memberikan zakat kepada salah satu sasaran
saja, iapun tidak diwajibkan menyamaratakan pemberian itu pada
individu yang diberinya. Akan tetapi
boleh melebihkan antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan kebutuhan.
4. Hendaknya
golongan fakir dan miskin adalah sasaran pertama yang harus menerima zakat,
karena member kecukupan kepada mereka, merupakan tujuan utama dari zakat,
sehingga Rasulullah saw tidak menerangkan dalam hadis Muadz dan juga hadis lain
selain sasaran ini: " Zakat itu diambil dari orang yang kaya dan
diberikan pada orang fakir". Hal ini
dikarenakan sasaran ini membutuhkan perhatian yang khusus. Tidak dibenarkan misalnya seseorang hakim
mengambil harta zakat kemudian dibelanjakan untuk tentara, dan membiarkan golongan yang lemah yang membutuhkan
dari golongan fakir miskin.
5. Hendaknya mengambil pendapat madzhab
Syafii dalam menentukan batas yang paling tinggi yang diberikan kepada petugas yang menerima dan
membagikan zakat itu, yaitu 1/8 dari hasil zakat, tidak boleh lebih dari itu.
6. Apabila harta zakat itu sedikit,
seperti harta perorangan yang tidak begitu besar, maka dalam keadaan demikian itu zakat diberikan pada satu sasaran
saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh an-Nakha'i dan Abu Tsaur, bahkan diberikan pada satu individu, sebagaimana
dikemukakan oleh Abu Hanifah, agar pemberian itu dapat mencukupi kebutuhan si mustahik. Karena
membagikannya harta yang sedikit, untuk sasaran yang banyak atau orang yang banyak dari satu sasaran,
sama dengan menghilangkan kegunaan yang diharapkan dari zakat itu sendiri. Hal ini lebih baik daripada
memberi kepada orang banyak, masing-masing beberapa dirham. Pemberian itu tidak menyembuhkan dan
tidak mencukupi.
Daftar Pustaka
Al-Qaradhawi, Yusuf, Fiqh Zakat, Beirut : Muassasah Risalah,
1991.
Mahmudi, Sistem Akuntansi Organisasi Pengelola Zakat, 2009 Yogyakarta; P3EI
UII.
Syahatah, Husein, Akuntansi Zakat; Panduan Praktis Menghitung Zakat Kontemporer,2004 Jakarta; Pustaka Progresif.
Syahatah, Husein, Akuntansi Zakat; Panduan Praktis Menghitung Zakat Kontemporer,2004 Jakarta; Pustaka Progresif.
Suyitno. Junaidi, Heri. Abdushomat, M. Abid, GJA. Anotomi
Fiqh Zakat. 2005. Yogyakarta : Pustaka Pelajar .
Ash-Shiddieqy, Muhammad, Hasbi, Tengku. Pedoman Zakat. 1991.
Jakarta : Bulan Bintang.